loading...

iklan

Mengeliminasi Korupsi Anggaran Desa


KASUS korupsi anggaran desa semakin meningkat setiap tahun. Semakin banyak kepala desa dan perangkat desa tersandung kasus korupsi dana desa. Modus penyelewengan pengelolaan anggaran desa juga semakin canggih. Penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan anggaran desa (APBDes) ditutupi dengan mekanisme pelaporan administrasi yang rapi. Korupsi terjadi sejak dari fase perencanaan kegiatan, anggaran dan terealisasi dalam tahap pelaksanaan dengan memaksa pelaksana kegiatan (timlak) untuk memberikan ‘upeti’ pada kepala desa maupun perangkat desa.
Tingkat korupsi anggaran desa, khususnya terhadap transfer dana desa memang semakin memprihatinkan. Sehingga KPK sempat akan melakukan agenda penyelidikan maupun penyidikan kasus-kasus korupsi anggaran desa. Sampai akhirnya BPK sebagai institusi pemeriksa dan pengawas pengelolaan anggaran memutuskan agenda rutin pemeriksaan terhadap tata kelola keuangan desa. Temuan BPK tahun 2016 secara eksplisit menyebutkan bahwa level penyalahgunaan anggaran desa semakin meningkat.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Desa dan PDTT telah banyak menerbitkan regulasi dan petunjuk teknis pengelolaan anggaran desa dengan tujuan mencegah praktik korupsi. Regulasi dan petunjuk teknis pengelolaan anggaran desa dan pembangunan desa dijadikan acuan dalam program-program pembangunan desa secara efektif, akuntabel dan partisipatif. Namun regulasi dan petunjuk teknis hanya ‘ampuh’ untuk menertibkan tata administrasi pelaksanaan program dan kegiatan anggaran, bukan untuk mencegah korupsi.
Sampai pertengahan Juni 2017 tercatat sebanyak 198 kepala desa telah dipidana dalam kasus korupsi anggaran desa. Jumlah tersebut belum termasuk kepala desa yang masuk menjalani proses pemeriksaan dan persidangan di pengadilan tipikor. Korupsi kepala desa dan perangkat desa disebabkan moral hazard mereka atas pengelolaan anggaran. Kepala desa sesuai Permendagri 113 tahun 2015 ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa Pengelolaan Keuangan Desa (PKPKD) yang memiliki otoritas penuh dalam alur perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa. Sehingga kekuasaan yang ‘semi absolut’ tersebut berujung pada praktik korupsi kerena celah yang ada. Sedang fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam skema UU No 6 Tahun 2014 maupun PP no 47 tahun 2015 bukan sebagai kekuatan kontrol dan kritik atas kinerja pemerintah desa, tapi bagian dari pemerintahan desa.
Peran pendampingan desa yang diharapkan aktif mencegah praktik korupsi anggaran desa, tidak optimal. Pendampingan desa tidak memiliki otoritas penuh dalam pengawasan anggaran desa. Pendampingan desa hanya sekadar mendampingi kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Terungkapnya kasus korupsi anggaran desa lebih banyak diinisiasi laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergiat dibidang gerakan antikorupsi. Korupsi anggaran desa yang belum terungkap jauh lebih besar dan memprihatinkan.
Korupsi anggaran desa dilakukan secara berjamaah melibatkan banyak kepentingan. Sayangnya banyak pihak yang membela pelaku korupsi anggaran desa sebagai wujud kekhilafan administrasi pengelolaan keuangan desa. Korupsi yang jelas merugikan keuangan negara direduksi seolah menjadi kesalahan penafsiran dalam pengelolaan anggaran desa. Padahal mayoritas kepala desa dan perangkat desa di 74.125 desa diseluruh Indonesia telah memahami substansi UU, PP dan berbagai peraturan pengelolaan anggaran desa.
Mengeliminasi
Untuk mengeliminasi korupsi anggaran desa juga penting bagi Kementerian Desa dan PDTT menerapkan sanksi anggaran yang tegas. Untuk menjerakan, bagi desa-desa terbukti menyalahgunakan anggaran proses penyaluran transfer fiskal pusat dan daerah harus ditunda sampai pelaku penyalahgunaan anggaran di proses secara hukum. Apalagi menurut Presiden Joko Widodo tahun 2018 alokasi transfer fiskal pusat ke desa akan meningkat menjadi Rp 120 triliun. Artinya, anggaran dana desa makin besar karena setiap desa minimal akan mendapatkan. Sehingga diperlukan gerakan antikorupsi anggaran desa dengan melibatkan banyak komponen sesuai tupoksi.
Lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian harus aktif melakukan penyelidikan atas gejala korupsi anggaran desa. Lembaga auditor dan pengawas anggaran seperti BPK, BPKP dan Bawasda harus lebih aktif dalam kegiatan pemeriksaan tata administrasi anggaran desa. Sementara jajaran masyarakat sipil di desa dituntut aktif dalam edukasi anggaran bagi masyarakat serta gerak advokasi hak publik terhadap anggaran desa.
Pengawasan anggaran desa yang sinergis dan aktif akan mampu mengeliminasi korupsi yang justru semakin tumbuh subur. Korupsi anggaran di desa akan mendorong kegagalan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Juga menghambat penanggulangan kemiskinan di desa.

No comments:

Post a Comment

PropellerAds

AdsBLT

Pedoman Pelayanan

desa blang teumulek